members of association of the indonesian tours and travel agencies
NIA : 045/VI/DPP/2006

MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 1

Atisha Dipamkara Shrijana, painted by Padmasana Creative Team

“Aku, biksu Dipamkara Shrijana, mengarungi samudera dengan kapal selama tiga belas bulan lamanya dan beranjak ke tempat Lama Serlingpa berada...”
 
Kalimat diatas merupakan kutipan dari sebuah naskah kuno Tibet, Kisah  Pelayaran Atisha dari India ke Sumatra, yang diterjemahkan dari bahasa Tibet ke dalam bahasa Inggris oleh Lobsang Shastri dari Library of Tibetan Works and Archives, Dharamsala, India, 1996, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wahyu Adi Putra Ginting dan Elisabeth D. Inandiak, 2013.

Satu nama yang menarik disebut dalam kalimat diatas, selain biksu Dipamkara Shrijana, adalah kata Lama Serlingpa. Menurut terjemahan bahasa Tibet, kata Lama (bla ma) mempunyai arti guru dan kata Pa mempunyai arti yang secara harfiah menunjuk pada orang, serta kata Serling berarti Pulau Emas atau Suvarnadvipa. Jadi Serlingpa (Tibet : gSer-gling-pa) dapat diartikan secara menyeluruh sebagai orang (mahaguru) yang berasal dari Serling/ Suvarnadvipa.

Lama Serlingpa, painted by Padmasana Creative Team

Apa hubungan Lama Serlingpa dengan Kawasan Muarajambi? Ada baiknya kita review terlebih dahulu tentang Kawasan Cagar Budaya Muarajambi.

Seperti kita ketahui, Situs Muarajambi pertama kali dilaporkan dalam sebuah catatan pada tahun 1820 oleh seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke (Anderson, 1971:398 dalam Widjaja, 2008). Crooke berpendapat bahwa situs Muarajambi dahulunya adalah reruntuhan bangunan-bangunan dan arca Buddha.

Pada tahun 1921 berdasarkan catatan T. Adam dalam “Oudheden Te Djambi - Oudheidkundig Verslag” (Antiquities Ke Djambi - Laporan Arkeologi) memperkuat bukti - bukti adanya peninggalan purbakala di Desa Muara Jambi, yang dilengkapi foto - foto informatif dan berkualitas baik.

Hal serupa dikemukakan pula oleh F.M. Schnitger, seorang peneliti Jerman, yang mengunjungi Muara Jambi tahun 1937, melaporkan keberadaan reruntuhan istana kuno, dan menyebutkan nama - nama candi seperti Astano, Gumpung, Tinggi, Gudang Garem, Gedong I, Gedong II dan Bukit Perak. Menurut Schnitger, tinggalan - tinggalan kepurbakalaan di Muara Jambi merupakan sisa - sisa dari suatu ibukota kerajaan dengan bangunan - bangunan yang dibuat dari bata/ batu (Schnitger, 1964: 57)

Pada era pemerintahan Indonesia, sebuah tim survey dibentuk pada tahun 1954, dipimpin oleh R. Soekmono. Tim yang bertujuan mengidentifikasi lokasi tinggalan purbakala Muara Jambi itu, melaporkan keberadaan reruntuhan Candi Astano, Gumpung, Tinggi dan sisa - sisa bangunan kuno yang tertutup vegetasi hutan. Pada tahun 1976, Direktorat Sejarah dan Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memulai proses rekonstruksi dan pemugaran yang berlangsung hingga sekarang.(Purwanti, 2011).

Dimulai dari pekerjaan clearing yang sudah dilakukan sejak tahun 1978, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI selanjutnya melakukan pemugaran Candi Tinggi pada tahun 1978/1979, Candi Gumpung pada tahun 1982 hingga 1988, Candi Astano tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II dimulai tahun 2001 s.d. selesai, Candi Tinggi I tahun 2005 s.d. 2008, Candi Kedaton tahun 2009 hingga saat ini. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/2015/04/10/riwayat-penemuan-kawasan-cagar-budaya-muarajambi/)

Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 259/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan  Cagar Budaya Peringkat Nasional. Secara definitif, kawasan ini meliputi areal seluas 3.981 hektar, tersebar di 2 (dua) kecamatan (Marosebo dan Tamanrajo) dan 8 (delapan) desa. (Dirjen Kebudayaan, 2014).

Dapat disimpulkan bahwa kawasan ini merupakan kompleks purbakala terluas di Asia Tenggara (dua puluh kali luas kawasan Borobudur, atau dua kali luas kawasan Angkor Wat Cambodia).

Ternyata sangat luas kawasan Percandian Muarajambi. Tapi mungkinkah Murajambi yang sekarang ini merupakan lokasi sebenarnya universitas tertua, tempat Atisha Dipamkara Shrijana berguru pada Lama Serlingpa?

Berikut akan kita kaji lebih dalam menurut timeline sejarah untuk pembuktiannya.

BERSAMBUNG - MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 2


Anda mau membuktikan catatan Atisha Dipamkarashrijana berkaitan dengan belajarnya beliau kepada Lama Serlingpa?

Ayo berkunjung ke Muara Jambi dengan segera menghubungi tour planner kami !