members of association of the indonesian tours and travel agencies
NIA : 045/VI/DPP/2006

MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 3

Candi Gumpung dan Arca Prajnaparamita

Tidak banyak literatur tentang siapa sebenarnya Lama Serlingpa Dharmakirti ( 金州大師 ). Beberapa literasi menyebutkan, bahwa beliau lahir dengan nama Shri Suvarnadvipa, sekitar 950 Masehi, di keluarga Dinasti Syailendra, di sebuah pulau dengan julukan Suwarnadwipa, yang berarti ‘pulau emas’.  

Dinasti Syailendra mempraktekkan berlindung pada Triratna. Merekalah yang membangun Candi Borobudur, mandala batu terbesar yang pernah dibangun di muka bumi ini, untuk menghormati Triratna. Lama Serlingpa belajar di Biara Vikramasila India dan beliau mewarisi dua garis ajaran yang sangat penting untuk pengembangan Bodhicitta(http://buddhazine.com/menelusuri-tahapan-jalan-menuju-pencerahan-di-indonesia-india-dan-tibet/)

Serlingpa Dharmakirti atau yang dikenal juga dengan sebutan Suvarnadvipi Dharmakirti adalah seorang pangeran dari silsilah Shri-Vijayendra-Raja yang masih termasuk dalam silsilah Dinasti Syailendra. Dia juga dikenal sebagai guru besar Buddhis di Sumatera pada abad ke-10(https://id.wikipedia.org/wiki/Dharmakirti)

Salah satu mahakarya dari Lama Serlingpa adalah Durbodhaloka, yang terbagi dalam 8 bab, sebagaimana disebutkan dalam Dharmakirti's Durbodhaloka and The Literature Of Srivijaya, oleh Peter Skilling, dalam Journal of The Siam Society Vol 85, Parts 1 - 2, hal. 187-188, sebagai berikut :
 
“Through his translations into Tibetan, Dipamkara-also known as Atisa-is responsible for the preservation of the only certain example of the literature of Srivijaya that has survived.”
(Melalui terjemahannya ke dalam bahasa Tibet, Dipamkara-juga dikenal sebagai Atisa-(telah) bertanggung jawab untuk melestarikan satu-satunya contoh pasti dari literatur Sriwijaya yang bertahan.)

 “One of the important documents bequeathed to us by Atisa is his translation of the Durbodhaloka by Dharmakirti.”
(Salah satu dokumen penting (telah) diwariskan kepada kita oleh Atisa adalah terjemahan dari Durbodhaloka oleh Dharmakirti.)
 
“The Durbodhaloka or Illumination of [Points] Difficult to Understand  is a commentary on an Indian text, the Abhisamayalamkara.  The Abhisamayalamkara, or Ornament of Realization, is  a terse  and systematic verse explication of the Prajna Paramita or Perfection of Wisdom.  Composed in the 4th century CE, it was one of the most influential texts of scholastic Mahayana Buddhism, and the subject of numerous commentaries. It remains on the curriculum of Tibetan monasteries to this day.”
(Durbodhaloka atau Penerangan [pokok] Yang Sulit Dipahami adalah sebuah komentar untuk sebuah teks India, yang berjudul Abhisamayalamkara. Abhisamayalamkara, atau Ornamen Realisasi, adalah penjelasan ayat singkat dan sistematis dari Prajnaparamita atau Kesempurnaan Kebijaksanaan. Disusun pada abad ke-4, yang merupakan salah satu teks paling berpengaruh mengenai Mahayana dalam Buddhisme, dan subjek banyak komentar. (teks) ini masih masuk dalam kurikulum biara Tibet hingga hari ini.)
 
“Sections 1.3 (in verse) and 1.4 (in prose) establish that the Durbodhaloka was composed at the request of or during the reign of King Cudamanivarman dari Srivijaya. Section 1.4 establishes that the work was composed in the city of Srivijaya itself. The importance of this information cannot be gainsaid: the composition of the Durbodhaloka presupposes the existence and study in Srivijaya of the abstruse Prajnaparamita and Abhisamayalamkara literature, of a high level of scholarship and of royal sponsorship.”
(Bagian 1.3 (dalam ayat) dan bagian 1,4 (dalam prosa) membuktikan bahwa Durbodhaloka disusun atas permintaan dari atau pada masa pemerintahan Raja Cudamanivarman dari Sriwijaya. Bagian 1.4 menetapkan bahwa pengerjaan (durbodhaloka) disusun di kota Sriwijaya sendiri. Pentingnya informasi ini tidak dapat disangkal: komposisi Durbodhaloka mengisyaratkan keberadaan dan belajar/melakukan kajian di Sriwijaya tentang Prajnaparamita yang mendalam dan literatur Abhisamayalamkara, merupakan sebuah beasiswa (pengetahuan secara ilmiah) tingkat tinggi dan merupakan (mendapat) sponsor (dukungan/sokongan) dari kerajaan.)

Figur Dharmakirti dalam Dharmakirti's Durbodhaloka a nd The Literature Of Srivijaya - P. Skilling

Dikatakan dalam Riwayat Guru-Guru Lamrim, bahwa Dharmakirti pergi ke Jambudvipa (India) belajar di bawah Shri Ratna dan menjadi biksu di bawah guru ini. Dikatakan juga, Dharmakirti lahir dari keluarga kerajaan, dia adalah anak raja dari Sriwijaya. 

Tidak ada yang tahu sampai kapan Guru Besar Dharmakirti hidup. Catatan dari Tibet menerangkan beliau hidup hingga usia 150 tahun dan bertempat tinggal di Suwarnadwipa ketika Atisha mencapai kedudukan tertinggi sebagai pendeta besar di India. 

Beberapa karya dari Dharmakirti antara lain yang masih bisa dilacak dari Tan-gyur: Siksa-samuccaya-abhisamaya-namah. Pada catatan akhir dari karya ini dituliskan pengarangnya adalah Ser-ling-gyalpo-pal-dan cho-kyon, yang artinya Shri Dharmapala dari Suwarnadwipa. 

Ada banyak diskusi tentang Dharmakirti dan Dharmapala. Sebagian sarjana mengatakan kedua orang tersebut adalah sama, sebagian menerangkan tidak. Sayangnya kita tidak menemukan banyak catatan maupun informasi tentang hal ini. Khusus tentang hal ini, pada catatan akhir dari Satya-dvaya-avatara oleh Dipamkara menyebutkan nama seorang guru Mahayana Dharmapala, raja dari Suwarnadwipa(http://www.kadamchoeling.or.id/melihat-swarnadwipa-dharmakirti-dan-atisa-dipankara-sri-jnana-di-sriwijaya/)

Muarajambi mungkin pernah menjadi "fakultas - fakultas" yang disaling-hubungkan dengan suatu jaringan kanal yang besar. Ketika menyusuri jalan semak-belukar dimana puing keramik Cina dari abad ke-7 dan ke-9 bertebaran, orang mulai membayangkan universitas "alam" pertama di persimpangan antara India dan Cina, yang mencakup hutan sebagai kebun, perpustakaan, apotek hidup, dan suaka semedi di dalam kampusnya (Pondok Menapo, Inandiak, 2014).

Masih memerlukan banyak bukti untuk menguak misteri siapa sebenarnya Lama Serlingpa atau yang lebih kita kenal dengan Dharmakirti, seorang mahaguru dari Suvarnadvipa. Sebuah arca Prajnaparamita yang bagian kepalanya telah hilang, terbuat dari batu andesit, ditemukan di puing reruntuhan Candi Gumpung, pada saat pemugaran yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala pada tahun 1978, merupakan salah satu saksi bisu dari timeline peradaban Muarajambi yang cukup lama bertahan dan kini menjadi situs arkeologi terluas di Indonesia.

Anda ingin mengetahui dan membuktikan seberapa besar universitas tertua di Indonesia, yang diperkirakan sebagai tempat belajarnya Atisa kepada Dharmakirti ?

Silahkan hubungi tour planner kami untuk berkunjung ke Muara Jambi dan buktikan sisa peradaban universitas tertua di Indonesia disini !

MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 2


Journey to Suvarnadvipa - painted by Padmasana Creative Team

Pertalian antara penggalian arkeologis dan naskah - naskah berbahasa Cina dan Tibet tampak menunjukkan bahwa situs besar Muara Jambi, yang membentang lebih dari 3.981 are di sepanjang Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera, telah menjadi pusat ajaran Buddha terbesar di Asia Tenggara. Situs tersebut merupakan “pertemuan pengetahuan”, dimana orang India dan Cina datang untuk belajar atau berdagang dengan berlayar melalui “jalur laut agama Buddha” ini, istilah yang tidak setenar jalur sutera benua – jalur yang bisa juga disebut “jalur emas” karena para pedagang dari seluruh Asia datang kemari untuk mencari logam mulia ini. Demikianlah nama Suvarnadvipa, yang dalam bahasa Sanskerta berarti ‘pulau emas’, digunakan untuk menyebut pulau yang sekarang bernama Sumatera ini. (Inandiak, 2014)

Marco Polo, penjelajah dunia terkenal, menceritakan tentang keberadaan satu pelabuhan di kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang raja yang kaya, mempunyai kota yang tertata dengan baik, di pesisir pantai pulau Sumatra dengan nama MALAIUR, yang termuat dalam catatan perjalanannya The Travels of Marco Polo (1254-1324 M)/ Book 3/ Chapter 8, yaitu :

"And when you have gone these 60 miles, and again about 30 more, you come to an Island which forms a Kingdom, and is called MALAIUR. The people have a King of their own, and a peculiar language. The city is a fine and noble one, and there is great trade carried on there. All kinds of spicery are to be found there, and all other necessaries of life."
(Dan ketika Anda pergi sejauh 60 mil, dan pergi lagi sekitar 30 lebih, Anda akan menjumpai sebuah pulau dengan sebuah kerajaan, dan disebut MALAIUR. Orang-orang disini memiliki Raja mereka sendiri, dan bahasa aneh. Kota ini adalah salah satu yang baik dan mulia, dan ada perdagangan besar dilakukan di sana. Semua jenis rempah-rempah yang dapat ditemukan di sana, dan semua keperluan hidup lainnya.)
 
Juga, seorang pengarung samudra dunia dari dunia Islam dan pakar antropologi pertama didunia, Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni (973 – 1048 M), memperkuat keberadaan sebuah kerajaan besar dengan pelabuhannya di pesisir pantai pulau Sumatra, berikut kutipan catatan perjalanannya dalam bukunya yang berjudul Qanun Al-Masoudi, menceritakan Sanfotsi/ Zabag atau lebih dikenal dengan Suvarnadvipa:

"the eastern islands in this ocean (Sea of Champa), which are nearer to China than India, are the islands of Zabaj, called by the Hindus, Suvarnadvipa, i.e. the gold islands... because you obtain much gold as deposit if you wash only a little of the earth of that country." (1030 Masehi)
("Pulau-pulau timur dilautan ini (Laut Cina Selatan), yang lebih dekat ke China dari India, adalah pulau Zabaj, yang disebut oleh orang Hindu sebagai Suvarnadvipa, yaitu pulau-pulau emas, karena dengan mencuci hanya sedikit dari tanahnya, akan mendapatkan sejumlah emas....")
 
Begitu juga dengan seorang biksu Cina yang bernama  Yi - Jing atau sering dikenal sebagai I-Tsing (635-713 M), bercerita dalam catatan perjalanannya dari Cina menuju India, dalam bukunya yang berjudul India and The Malay Archipelago, dan diterjemahkan J. Takakusu, B.A., Ph.D. with a Letter from The Right Hon. Prof. F. Max Muller, menyebutkan :

“Before sailing twenty days the ship reached BhoGa, where I landed and stayed six months, gradually learning the Sabdavidya (Sanskrit grammar). The King gave me some support and sent me to the country of Malayu, which is now called SribhoGa², where I again stayed two months, and thence I went to Ka-cha.” 
(Sebelum berlayar dua puluh hari kapal mencapai Bhoga, dimana saya mendarat dan tinggal enam bulan, (untuk) secara bertahap belajar Sabdavidya (tata bahasa Sansekerta). Raja memberi saya dukungan dan mengirim saya ke negara Malayu, yang sekarang disebut SribhoGa², di mana aku akan tinggal (selama)  dua bulan, dan dari situ saya pergi ke Ka-cha.)

Timbul pertanyaan, dimanakah Negara Melayu yang disebut Sribhoga? I’Tsing pun menjelaskan dimana Sribhoga dengan kata-kata berikut :

“In the country of -Sribhoga, in the middle of the eighth month and in the middle of spring (second month), the dial casts no shadow, and a man standing has no shadow at noon. The sun passes just above the head twice a year.”
(Di negara Sribhoga, ditengah bulan kedelapan dan di tengah-tengah musim semi (bulan kedua), dial casts tidak ada bayangan, dan seorang pria berdiri tidak memiliki bayangan di siang hari. matahari melewati tepat di atas kepala dua kali setahun.)

Tempat yang Tanpa bayangan? Kemungkinan terbesar jawaban dari misteri mencari tempat tanpa bayangan ini adalah suatu tempat yang terdekat dengan dengan garis khatulistiwa.

Definisi dalam geografi, Garis Khatulistiwa berasal dari bahasa arab ﺨﻄ ﺍﻻﺴﺘﻮﺍﺀ atau lebih    dikenal dengan ekuator adalah sebuah garis imajinasi yang digambar di tengah-tengah planet di antara dua kutub dan paralel terhadap poros rotasi planet. Garis khatulistiwa ini membagi Bumi menjadi dua bagian belahan bumi utara dan belahan bumi selatan. Garis ini salah satunya melintasi daerah pada koordinat 0°0′LU 98°12′BT, yaitu Sumatra dan Kepulauan Lingga. (https://id.wikipedia.org/wiki/Khatulistiwa)

Posisi Jambi pada Equator

Pada daerah yang dilewati garis khatulistiwa, matahari berada tepat di atas kepala pada tengah hari dalam equinox, yaitu salah satu fenomena astronomi saat matahari melintasi garis khatulistiwa dan terjadi persilangan matahari dari atas belahan utara menuju ke atas belahan selatan dan sebaliknya, yang mengakibatkan waktu siang dan malam sama periode atau panjangnya. 

Keadaan ini terjadi dua kali setiap tahun, tepatnya setiap tanggal 21 Maret, matahari bergeser dari belahan selatan ke belahan utara dan menandai datangnya musim semi di belahan utara, dinamai vernal equinox; dan tanggal 23 September, matahari bergeser dari belahan utara ke belahan selatan dan menandai datangnya musim gugur di belahan utara, yang dinamai autumnal equinox. (https://sains.me/2013/03/26/equinox-saat-matahari-berada-di-atas-khatulistiwa/)

Jadi, dapat disimpulkan menurut teori orang dusun, tempat yang terdekat dengan garis khatulistiwa dan mempunyai tinggalan peradaban yang besar sebagai indikasi tempat belajar I’Tsing adalah daerah Jambi, dengan adanya keberadaan situs arkeologi terluas di Indonesia, sebesar 3.981 hektar, yang mungkin akan lebih besar lagi di kemudian hari seiring dengan makin banyaknya penemuan arkeologis di luar kawasan yang telah ditetapkan sekarang ini.

Oleh karena itu, Kompleks Percandian Muarajambi yang sekarang memliki luas 3.981 hektar ini, dinilai sangat penting bagi pengungkapan sejarah salah satu peradaban dunia. Diperkirakan masih sangat banyak bukti - bukti tinggalan yang terkubur di dalam tanah dan di dasar sungai, yang belum diekskavasi. 

Mungkinkah Muarajambi merupakan pusat pembelajaran I’Tsing itu?

BERSAMBUNG - MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 3    
 
Anda mau membuktikan catatan I’Tsing tersebut?
 
Ayo berkunjung ke Muara Jambi dengan paket tour kami !

MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 1

Atisha Dipamkara Shrijana, painted by Padmasana Creative Team

“Aku, biksu Dipamkara Shrijana, mengarungi samudera dengan kapal selama tiga belas bulan lamanya dan beranjak ke tempat Lama Serlingpa berada...”
 
Kalimat diatas merupakan kutipan dari sebuah naskah kuno Tibet, Kisah  Pelayaran Atisha dari India ke Sumatra, yang diterjemahkan dari bahasa Tibet ke dalam bahasa Inggris oleh Lobsang Shastri dari Library of Tibetan Works and Archives, Dharamsala, India, 1996, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wahyu Adi Putra Ginting dan Elisabeth D. Inandiak, 2013.

Satu nama yang menarik disebut dalam kalimat diatas, selain biksu Dipamkara Shrijana, adalah kata Lama Serlingpa. Menurut terjemahan bahasa Tibet, kata Lama (bla ma) mempunyai arti guru dan kata Pa mempunyai arti yang secara harfiah menunjuk pada orang, serta kata Serling berarti Pulau Emas atau Suvarnadvipa. Jadi Serlingpa (Tibet : gSer-gling-pa) dapat diartikan secara menyeluruh sebagai orang (mahaguru) yang berasal dari Serling/ Suvarnadvipa.

Lama Serlingpa, painted by Padmasana Creative Team

Apa hubungan Lama Serlingpa dengan Kawasan Muarajambi? Ada baiknya kita review terlebih dahulu tentang Kawasan Cagar Budaya Muarajambi.

Seperti kita ketahui, Situs Muarajambi pertama kali dilaporkan dalam sebuah catatan pada tahun 1820 oleh seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke (Anderson, 1971:398 dalam Widjaja, 2008). Crooke berpendapat bahwa situs Muarajambi dahulunya adalah reruntuhan bangunan-bangunan dan arca Buddha.

Pada tahun 1921 berdasarkan catatan T. Adam dalam “Oudheden Te Djambi - Oudheidkundig Verslag” (Antiquities Ke Djambi - Laporan Arkeologi) memperkuat bukti - bukti adanya peninggalan purbakala di Desa Muara Jambi, yang dilengkapi foto - foto informatif dan berkualitas baik.

Hal serupa dikemukakan pula oleh F.M. Schnitger, seorang peneliti Jerman, yang mengunjungi Muara Jambi tahun 1937, melaporkan keberadaan reruntuhan istana kuno, dan menyebutkan nama - nama candi seperti Astano, Gumpung, Tinggi, Gudang Garem, Gedong I, Gedong II dan Bukit Perak. Menurut Schnitger, tinggalan - tinggalan kepurbakalaan di Muara Jambi merupakan sisa - sisa dari suatu ibukota kerajaan dengan bangunan - bangunan yang dibuat dari bata/ batu (Schnitger, 1964: 57)

Pada era pemerintahan Indonesia, sebuah tim survey dibentuk pada tahun 1954, dipimpin oleh R. Soekmono. Tim yang bertujuan mengidentifikasi lokasi tinggalan purbakala Muara Jambi itu, melaporkan keberadaan reruntuhan Candi Astano, Gumpung, Tinggi dan sisa - sisa bangunan kuno yang tertutup vegetasi hutan. Pada tahun 1976, Direktorat Sejarah dan Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memulai proses rekonstruksi dan pemugaran yang berlangsung hingga sekarang.(Purwanti, 2011).

Dimulai dari pekerjaan clearing yang sudah dilakukan sejak tahun 1978, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI selanjutnya melakukan pemugaran Candi Tinggi pada tahun 1978/1979, Candi Gumpung pada tahun 1982 hingga 1988, Candi Astano tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I tahun 1996 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II dimulai tahun 2001 s.d. selesai, Candi Tinggi I tahun 2005 s.d. 2008, Candi Kedaton tahun 2009 hingga saat ini. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/2015/04/10/riwayat-penemuan-kawasan-cagar-budaya-muarajambi/)

Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 259/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan  Cagar Budaya Peringkat Nasional. Secara definitif, kawasan ini meliputi areal seluas 3.981 hektar, tersebar di 2 (dua) kecamatan (Marosebo dan Tamanrajo) dan 8 (delapan) desa. (Dirjen Kebudayaan, 2014).

Dapat disimpulkan bahwa kawasan ini merupakan kompleks purbakala terluas di Asia Tenggara (dua puluh kali luas kawasan Borobudur, atau dua kali luas kawasan Angkor Wat Cambodia).

Ternyata sangat luas kawasan Percandian Muarajambi. Tapi mungkinkah Murajambi yang sekarang ini merupakan lokasi sebenarnya universitas tertua, tempat Atisha Dipamkara Shrijana berguru pada Lama Serlingpa?

Berikut akan kita kaji lebih dalam menurut timeline sejarah untuk pembuktiannya.

BERSAMBUNG - MISTERI MUARAJAMBI : LAMA SERLINGPA 2


Anda mau membuktikan catatan Atisha Dipamkarashrijana berkaitan dengan belajarnya beliau kepada Lama Serlingpa?

Ayo berkunjung ke Muara Jambi dengan segera menghubungi tour planner kami !